Kamis, 16 Desember 2010

BUDAYA KARAPAN SAPI ORANG MADURA

Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal atau jati diri bangsa. Salah satunya seni pertunjukan berupa karapan sapi. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh dari kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani, dalam arti permainan ini memberikan motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah ladangnya dan disamping itu agar petani meningkatkan produksi ternak sapinya.
Namun, perlombaan karapan sapi kini tidak seperti dulu lagi dan telah disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Masalahnya banyak di antara para pemain dan penonton yang merupakan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, yakni mereka tidak lagi mendirikan shalat (Lupa Tuhan, ingat sapi). Karapan sapi memang telah menjadi identitas dan simbol keperkasaan dan kekayaan aset kebudayaan Madura.
Di sektor pariwisata, karapan sapi merupakan pemasok utama Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), karena dari sektor ini para wisatawan mancanegara maupun domestik datang ke Madura untuk menyaksikan karapan sapi. Namun sangat disayangkan karena yang terjadi saat ini, para wisatawan mancanegara maupun domestik sudah tidak lagi mau datang untuk menonton perlombaan kerapan sapi, hal ini disebabkan karena mereka melihat adanya penyiksaan terhadap binatang dengan memberikan sesuatu benda tajam dan lainnya kepada sapi, agar sapinya berlari lebih kencang dan menjadi pemenang. Selain itu, tidak sedikit dari penonton yang menjadikan perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah budaya ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..??

Maka dengan demikian, generasi muda saat ini harus menjadi tonggak sebagai pelestari budaya daerah Madura, agar budaya yang telah ada tidak hilang atau punah dan akan terus menjadi kebanggaan bangsa. Namun budaya itu juga harus sesuai dan tidak lepas dari norma atau aturan agama Islam, sehingga tidak termasuk budaya yang tidak diperbolehkan dan haram menurut agama. Sekian dan Terima kasih.

Sabtu, 11 Desember 2010

PENDEKATAN ANTROPOLOGI

Diskripsi Masalah:
Dalam memperingati bulan Syuro (Muharrom), setiap daerah mempunyai cara tersendiri seperti di Yogyakarta misalnya. Masyarakat Yogja selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi kebudayaannya. Mereka memaknai bulan syuro sebagai bulan yang suci dan penuh rahmat. Kegiatan tersebut seperti larungan (membuang barang-barang yang dianggap sial), dan memcuci barang-barang pusaka yang dilakukan pada tanggal 1 syuro.

Pertanyaan:
Mengenai perihal kejawen di Yogyakarta.
Mendidikkah?
Perlukah dilestarikan?
Pandangan Islam?

Jawaban:
Mendidik, sebab hal tersebut merupakan kebudayaan kita yang perlu dilestarikan adanya, dan hal tersebut perlu diadakan untuk mengajari pada generasi baru tentang kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya Yogyakarta. Selain itu menilik dari segi historisnya hal tersebut telah ada sejak dulu pada masa Walisongo dan jika hal tersebut merupakan kesalahan yang fatal menurut Islam maka para Wali pun tidak akan tinggal diam pada hal tersebut, tetapi sejarah membuktikan bahwa para Wali tidak menyalahkan hal tersebut. Sementara itu keilmuan mereka (Wali) jauh tinggi diatas kita. Namun ternyata mereka juga tidak menyalahkannya. Maka dari itu disinipun kita kelompok 5 tidak menyalahkannya. Atas dasar sebuah syair, yaitu:

فتشبهواان لم تكونوا مثلهم # ان التشا به با لرجا ل فلاح

Namun, terdapat kekurangan pada mereka yang melaksanakan hal tersebut, yaitu kurangnya sosialisasi dari mereka terhadap para generasi penerus tentang apa yang mereka lakukan. Oleh sebab itu para generasi tersebut pun hanya taqlid pada covernya saja tanpa mengetahui hal yang mendasari adanya kegiatan tersebut. Sehingga menimbulkan kesalah pahaman atau bahkan tudingan kafir/musyrik pada mereka.
Kesimpulannya, hal tersebut akan jauh menjadi lebih baik dan sempurna jikalau diketahui apa yang sebenarnya menjadi dasar, tujuan dan inti dari kegiatan tersebut. Terlebih jika dimasukkan hal-hal yang bersifat Islami, namun tanpa merusak atau merubah pada kebudayaan asli, selagi hal tersebut masih relevan. Sebagaimana disebutkan dalam satu maqolah:

المحا فظة على القديم الصا لح # وا لاخذ با لجديد ا لاصلح